Kasus KDRT Meningkat

Hak Asasi Manusia

April 24, 2025

Astro Dirjo/Kota Jambi

Ilustrasi perempuan korban kekerasan. (credits: pexels)

KASUS Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi meningkat pada awal 2025 ini. Terdata sebanyak 18 kasus pada periode Januari-April 2025. Jumlah ini, lebih tinggi, jika dibandingkan periode Januari – April 2024 lalu, yakni sebanyak empat kasus.

“Kasus kekerasan ini terjadi pada perempuan (11 kasus) dan anak (7 kasus),” kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Neneng Eva Anggraeni, mengutip Jambi Ekspres, Kamis (17/4).

Ia mengatakan, kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi kasus tertinggi selama empat bulan terakhir. Kecamatan Mersam tercatat sebagai wilayah dengan kasus  kekerasan terhadap perempuan tertinggi.

Faktor ekonomi kerap menjadi alasan terjadinya kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga. Yang berawal dari pertengkaran antara suami dan istri, dan berlanjut menjadi tindak kekerasan terhadap perempuan.

Sementara itu, untuk kasus kekerasan terhadap anak pun terjadi. Meskipun, pada 2025 ini kasus pelecehan terhadap anak tidak terlihat, dan terdata hanya kasus kekerasan fisik saja.

“Pola pendekatan berupa sosialisasi, hingga keterlibatkan motivator kerap kami lakukan, untuk mencegah terjadinya tindak KDRT,” katanya.

Kasus KDRT di Indonesia hingga hari ini masih menjadi masalah serius. Pada tahun 2024, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatat terlah terjadi sebnayak 28.789 kasus KDRT. Angka ini, lebih dari 50 persen jika dibandingkan tahun 2023.

Sebagian besar korban KDRT pada tahun 2024 adalah perempuan. Dimana, dengan Kekerasan terhadap istri (KTI) sebagai kasus yang paling sering dilaporkan. Yakni dengan 672 kasus atau 83,70 persen dari total laporan di ranah personal.

Komnas Perempuan pun telah mengembangkan pengetahuan tentang femisida dan menemukan bahwa femisida relasi intim menempati urutan tertinggi pada kasus-kasus KDRT.

Ilustrasi gerakan #MeToo. (credits: pexels)

Mengutip Komnas Perempuan, ditemukan juga, bahwa KDRT berkelanjutan tak hanya bereskalasi pembunuhan terhadap istri oleh pasangan, melainkan juga kondisi sakit-sakitan yang berujung kematian dan tindakan mengakhiri hidup oleh perempuan korban.

Berdasarkan catatan Komnas Perempuan pada “Catahu 2005”, telah terjadi kematian korban yang disebabkan eskalasi KDRT. Meskipun pada waktu itu istilah femisida belum digunakan.

Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya. Sehingga, femisida berbeda dengan pembunuhan biasa, karena mengandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi atau opresi.

Femisida bukanlah kematian sebagaimana umumnya melainkan produk budaya patriarkis dan misoginis dan terjadi baik di ranah privat, komunitas ataupun negara. Berdasarkan data United Nation, sebanyak 80 persen dari pembunuhan terencana terhadap perempuan dilakukan oleh orang terdekatnya.

Kasus femisida perlu mendapat perhatian khusus. Ini karena; belum tersedia kebijakan pencegahan dan perlindungan optimal dalam kerangka KDRT untuk menjamin rumah tangga sebagai ruang aman, dan diksi femisida belum terintegrasi dalam kebijakan/perundang-undangan nasional.

Serta, kasus-kasus yang terjadi semakin kompleks dan belum dikenali secara luas, dan, pemenuhan keadilan terhadap perempuan korban belum komprehensif termasuk hak keluarga korban femisida yang menyaksikan langsung. 

Dunia global megenal tagar #MeToo. Yakni sebuah gerakan sosial dan kampanye kesadaran terhadap pelecehan seksual, kekerasan seksual, dan budaya pemerkosaan.

Pada gerakan ini, perempuan yang menjadi korban mempublikasikan pengalaman mereka tentang pelecehan seksual atau kekerasan seksual.  

Frasa “Me Too” awalnya digunakan dalam konteks ini di media sosial pada tahun 2006, di Myspace, oleh penyintas kekerasan seksual dan aktivis Tarana Burke.

Selanjutnya, tagar #MeToo mulai dipopulerkan pada tahun 2017. Yakni sebagai cara untuk menarik perhatian pada besarnya masalah ini.

Gerakan #MeToo bertujuan untuk memberdayakan mereka yang telah mengalami kekerasan seksual melalui empati, solidaritas, dan kekuatan dalam jumlah, dengan menunjukkan secara nyata berapa banyak perempuan yang telah mengalami kekerasan dan pelecehan seksual.*

avatar

Redaksi