Memaafkan Banjir Di Hari Yang Fitri

Lingkungan & Krisis Iklim

April 1, 2025

Natasha Indreswari/Kota Jambi

Rumah warga Kota Jambi yang terendam banjir. (credits: citizen journalist)

LEBARAN kali ini, agak berbeda. Warga Kota Jambi tidak lagi bicara hal-hal ringan ketika saling berkunjung.

Betapa tidak, banjir telah menjadi obrolan serius dalam balutan suasana Hari Yang Fitri. Banjir yang terjadi di sepanjang dua hari, yakni pada tanggal 30 dan 31 Maret 2025.

Banjir, yang datang secara dadakan, hanya beberapa saat setelah turunnya hujan deras yang disertai angin kencang dan petir.

Banjir yang terjadi hanya satu jam saja. Tapi ternyata, telah menghilangkan kebersiapan warga untuk berlebaran.

Pada Minggu (30/3), hujan turun sekitar pukul 08.00 WIB hingga sekitar 09.30 WIB. Ketika banyak warga Kota Jambi tengah bersibuk dalam rutinitas tahunan persiapan lebaran. Mulai dari membersihkan rumah hingga memasak ketupat.

Lalu, secara tiba-tiba, air datang menasuki rumah-rumah warga. Membasahi karpet dan perabotan.

Banjir di pertigaan Jalan Pattimura – Ir Juanda, Kota Jambi. (credits: citizen journalist)

Rumah warga yang selama ini tidak kebanjiran, tiba-tiba kedatangan air yang kotor dan berlumpur. Di kompleks perumahan Villa Kenali Permai, kawasan Mayang Mengurai, misalnya.

Beberapa warga menyatakan bahwa aliran anak sungai tidak mampu menampung debit air yang meningkat tinggi. Sebab, aliran dari tempat yang lebih tinggi ternyata terganggu oleh pendangkalan anak sungai.

Begitu juga di depan pertigaan Jalan Pattimura – Ir Juanda, Mayang. Kontur tanah yang cenderung rendah, tergenangi air banjir.

Penyebab yang sama; aliran anak sungai tidak mampu menampung kelebihan debit air.

Pun di pertigaan Jalan Pattimura – Arief Rahman Hakim. Setelah beberapa waktu sempat tidak terendam banjir, kini, banjir kembali terulang lagi.

Lagi lagi, penyebabnya adalah anak sungai yang tidak mampu menampung kelebihan debit air.

Banjir di Jalan Pattimura, Kota Jambi. (credits: citizen journalist)

Banjir juga merendam kawasan Simpang Kawat, dan beberapa wilayah lain di Kota Jambi.

Kota Jambi, adalah wilayah dengan kontur tinggi-rendah yang konstan. Sehingga tercipta banyak lurah (ceruk). Secara alami, air dari daerah yang lebih tinggi, akan menuju ke wilayah yang lebih rendah.

Pada Senin (31/3), tepat ketika waktu Sholat Ied dilaksanakan, yakni pada pukul 07.00 WIB, hujan datang lagi, meskipun dengan sedikit gemuruh petir.

Tetapi, setelah 1 jam, ketika warga yang telah selesai Sholat Ied tiba di rumah, ternyata, mereka telah ditunggu oleh sekelompok tamu, yakni: air banjir. Di wilayah Jerambah Bolong, misalnya.

Maka, apa yang selama ini diperbincangkan, menjadi kenyataan.

Perubahan peruntukan lahan, yang seharusnya adalah resapan air, diubah menjadi perumahan dan permukiman.

Drainase yang dangkal atau bahkan tidak ada di sisi jalan ataupun di wilayah permukiman, dan aliran anak-anak sungai yang tidak serius untuk diurus.

Padahal, dua persoalan pokok terkait banjir di perkotaan, adalah; tata kota, dan tata kelola air dan sungai.

Dan, biasanya, persoalan akan digampangkan dengan mencari celah siapa yang bersalah. Yakni, tentu saja, warga yang masih membuang sampah ke sungai, dan seterusnya, dan seterusnya.

Sedangkan di hulu Provinsi Jambi, kita tetap akan bicara terkait penggundulan hutan, perambahan, ekspansi perkebunan sawit, dan penambangan emas dan batu bara.

Penyebab-penyebab banjir perkotaan, yang telah dibicarakan berulang kali, sejak awal tahun 2000-an lalu. Dan, hingga hari ini, belum juga diselesaikan.

Meskipun dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, dan dengan persoalan yang semakin kompleks saja.*

avatar

Redaksi