Dikutuk Lada: Pecahnya Ulu Dan Ilir Djambi

Ekonomi & Bisnis

August 12, 2024

Jon Afrizal

Kampung Magatsari, Sungai Asam di Residen Djambi pada Midden Sumatra Expeditie tahun 1877 hingga 1879. (credits: Tropen Museum)

KESULTANAN Djambi, secara geografis terbelah menjadi dua wilayah; Ulu dan Ilir. Dan, pembelahan itu adalah juga sejarah tentang dualisme di Kesultanan Djambi.

Ulu (huluan) adalah wilayah dataran yang tinggi. Daerah-daerah yang tanahnya subur dan memiliki curah hujan yang cukup. Mata pencarian pokok bagi warga adalah bertani, beternak dan berkebun.

Sedangkan Ilir (hiliran) adalah wilayah pesisir. Dengan kondisi tanah yang cenderungan berlumpur dan rawa-rawa. Dengan mata pencarian penduduk bergantung dengan perdagangan dan pelabuhan, dan juga sektor perikanan.

Umumnya, masyarakat Melayu bertempat tinggal di hilir, dengan wilayah pesisirnya. Sehingga Ilir sangat identik dengan masyarakat Melayu.

Kondisi Kesultanan Djambi terpecah menjadi hulu dan hilir, yakni pada masa setelah wafatnya Depati Anom bergelar Sultan Agung Abdul Jalil, pada tahun 1665. Bahkan, terjadi dua kesultanan; Kesultanan Ulu dan Kesultanan Ilir di Djambi kala itu.

Sultan Agung Abdul Jalil adalah anak dari Pangeran Kedah bergelar Sultan Abdul Kahar. Pangeran Kedah adalah kepala pemerintahan pertama Djambi yang bergelar sultan.

Pada masa Pangeran Kedah memerintah Djambi, VOC berhasil menjalin kontak dan kerjasama dengan Kesultanan Djambi. Dengan didirikan loji di Muara Kumpe, atau Kumpe Ilir saat ini.

Berdarkan suatu perjanjian, VOC mulai menguasai perdagangan di Djambi, dan bahkan melakukan penetrasi politik di Kesultanan Djambi.

Lalu, Depati Anom digantikan oleh anaknya, yakni Raden Penulis bergelar Sultan Abdul Mahyi Seri Ingologo.

Pada masa pemerintahan Sultan Sri Ingologo inilah Djambi terlibat perang dengan Kesultanan Johor, yang berkaitan dengan penguasaan Kuala Tungkal. Sementara VOC, yang berada pada posisi yang menguntungkan, telah membantu Djambi berperang  melawan Johor, dan menang.

Tetapi, “tidak ada makan siang gratis”. Atas bantuan itu, Belanda meminta Sultan Sri Ingologo untuk menyerahkan sejumlah daerah kepada Belanda. Sehingga Belanda mendapat hak monopoli yang lebih besar atas perdagangan lada, dan VOC bebas untuk memasok suplai kain dan tembakau di Djambi.

Riska K, dalam penelitian “Dualisme Kesultanan di Jambi dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Abad 17-18” menyebutkan bahwa Kesultanan Jambi meraup keuntungan sebesar 30 persen hingga 35 persen dari penjualan lada, dalam kerjasama yang dilakukan antara Kesultanan Djambi dan VOC.

Perdagangan lada pun telah meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan kesultanan.

Bangsawan, sultan, bahkan syahbandar pelabuhan menjadi kaya dan dapat hidup dengan mewah. Para istri bangsawan dan sultan berpakaian impor dari Eropa, kala itu.

Namun, hubungan kerjasama yang saling menguntungkan antara Sultan dan VOC tidak disukai oleh rakyat Jambi. Sehingga loji Muara Kumpe diserang dan dibakar rakyat pada tahun 1690.

Akibat buruk bagi kesultanan, Sultan Seri Ingologo ditangkap oleh Belanda. Ia dibuang ke Pulau Banda, Maluku.

Akibat penertasi politik yang terlalu jauh di kesultanan, maka, Belanda pun mengangkat Pangeran Depati Cakranegara menjadi sultan, dengan gelar Sultan Kiyai Gede, pada tahun 1690. Dengan ibukota pemerintahan tetap berada di Tanah Pilih, atau Kota Jambi pada saat ini.

Padahal, yang seharusnya menjadi sultan, adalah Raden Julat, atau dalam beberapa catatan disebut dengan nama Raden Coelit. Ia adalah Pangeran Ratu Raja Muda, atau putera mahkota.

Ini jelas bertentangan dengan adat istiadat Kesultanan Jambi. Bahkan, catatan lain menyebutkan bahwa Raden Julat telah diusir oleh Pangeran Depati Cakranegara dari istana Tanah Pilih.

Lantas, terciptalah dualisme dalam kesultanan.

Raden Julat menyingkir ke Uluan. Ia mengumpulkan rakyat yang mendukung adat kesultanan. Yang berasal dari beberapa daerah. Termasuk dari Penyengat Mudik, Teluk Rantau dan IX Koto dan VII Koto.

Lalu, atas persetujuan rakyat pendukung, Raden Julat diangkat menjadi raja di Mangunjaya, dengan gelar Sultan Seri Maharaja Batu, pada tahun 1696. Ia mendirikan ibukota pemerintahan di Mangunjaya, diperkirakan di wilayah Muara Tebo pada saat ini.

Wilayah kekuasaannya meliputi seluruh kediaman Kalbu VII Koto, VIII Koto, IX Koto, Petajen, dan Air Hitam. Ia dibantu oleh adik sulungnya, bernama Kiyai Singo Pati (atau, Putih).

Dengan geografis wilayah perbukitan, dan juga jalur perdagangan lada di huluan, maka jelas saja perekomian Kesultanan Ulu menjadi sangat makmur, dengan kebun-kebun ladanya. Dan, berbeda jauh dengan kondisi perekonomian Kesultanan Ilir yang semakin terpuruk.

Untuk itu, trik pun dilakukan. Sultan Kiyai Gede berusaha membujuk Raden Culat, dan mengangkatnya menjadi raja pada tahun 1708. Tujuan dari pengangkatan ini, jelas saja, sebuah jebakan. Yakni untuk “menyatukan” kekuatan ekonomi antara Ulu dan Ilir, dengan berpusat di istana Tanah Pilih, yang berada di Ilir, yang sedang “tidak dapat hidup bermewah-mewah lagi”.

Sehingga, Sultan Kiyai Gede bekerjasama dengan VOC. Pada tanggal 14 Desember tahun 1710, Raden Julat dan pengikutnya diatangkap dengan dakwaan: coup de etat.

Ia dan pengikutnya dibawa ke Batavia. Dan kemudian dibuang ke Pulau Edam, atau Kepuluan Seribu saat ini.

Raden Julat meninggal dunia di sana, pada tahun 1711.

Dan, semua kejadian-kejadian buruk ini terjadi karena: panasnya perdagangan lada.*

avatar

Redaksi