Jangan Hapus Hak Dasar Rakyat Atas Tanah
Hak Asasi Manusia
January 6, 2024
Zachary Jonah
Liberalisme yang dilakukan oleh Engelbertus de Wall selaku menteri jajahan era Hindia Belanda melalui Agrarische Wet 1870. (: idsejarah)
KONSORSIUM Pembaruan Agraria (KPA) menilai telah terjadi kemunduran drastis kualitas produk-produk hukum agraria di Indonesia yang menyangkut pertanahan, kehutanan, pertambangan, pertanian dan pangan. Setelah revisi UU IKN yang melanggar UUPA 1960 dan Putusan MK dengan memberikan keistimewaan berlebihan 190 tahun Hak Guna Usaha (HGU) kepada para investor dan korporasi perkebunan di Proyek IKN Kalimantan Timur, kini pemerintah kembali menerbitkan Peraturan Presiden nomor 78 tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 (Perpres 78).
“Perpres 78 ini diteken Presiden untuk mengatur tata cara penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka penyediaan tanah demi percepatan pelaksanaan pembangunan nasional,” kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA, Dewi Kartika melalui rilis yang diterima Amira baru-baru ini.
Aturan ini, katanya, menghapus hak-hak dasar rakyat atas tanah. Perpres ini juga menunjukkan bahwa hak atas tanah (HAT) sebagai konstitusionalitas petani, buruh tani, masyarakat adat dan rakyat miskin yang termarginalkan dalam struktur agraria, termasuk janji penyelesaian konflik agraria dalam kerangka Reforma Agraria semakin jauh panggang dari api.
Perpres ini memang terkesan humanis karena hendak mengurus dampak sosial kemasyarakatan sebagai akibat dari kebutuhan tanah untuk proyek-proyek pembangunan. Ironisnya, isinya malah merumuskan tentang tata cara pemerintah menggusur masyarakat dari tanah tempat mereka tinggal, tanah kelahiran dan sumber penghidupannya.
Tata cara ini, katanya, berujung pada pemberian “santunan”. Pada pasal 1 ayat (3) Perpres berbunyi “Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan adalah penanganan masalah sosial berupa pemberian santunan untuk pemindahan masyarakat yang menguasai tanah yang akan digunakan untuk pembangunan nasional.”
Pemberian santunan memberi kesan sebagai bentuk “sumbangan kemanusiaan” agar masyarakat bersedia digusur. Istilah santunan, katanya, digunakan karena hak masyarakat atas tanah dianggap bukan milik rakyat.
Perpres 78, katanya, memfasilitasi model pembangunan pro-modal besar yang selama ini dijalankan. Dengan merancang sistem pengalokasian tanah yang pro-pemodal melalui mantra-mantra ”demi pembangunan”, ketimbang berwatak kerakyatan (populis) melalui pembangunan yang bersperfektif Reforma Agraria.
Padahal, sejak 1960 melalui UUPA para pendiri bangsa sudah sangat revolusioner dan visioner dalam merumuskan fondasi hukum agraria yang kuat dan populis. Yakni; mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong.
“Watak politik-hukum agraria yang dianut perpres ini menyimpang dari ideologi UUPA,” katanya.
Perpres ini, katanya, menyeleweng jauh dari prinsip hukum agraria nasional dengan klaim “pemerintah adalah pemilik tanah”. Dengan prinsip semacam itu sudah barang tentu diskriminasi hak petani, masyarakat adat, nelayan, masyarakat miskin serta kelompok marginal lainnya yang masih memperjuangkan hak atas tanah akan semakin meluas, dan konflik agraria akan semakin parah.
Pasal 3, katanya, adalah bentuk nyata praktik domien-verklaring seperti jaman Belanda, yang telah dihapus UUPA. Selain itu, frasa “tanah milik pemerintah” dan “tanah negara dalam pengelolaan pemerintah” adalah bentuk kesewenang-wenangan lainnya yang ditentang UUPA.
Selanjutnya, Perpres ini merumuskan prasyarat berlapis, diskriminatif dan berwatak ’pelit’ kepada rakyat. Dengan cara menyaring siapa saja masyarakat yang berhak mendapatkan santunan.
Seperti pada pasal 3 Ayat (1) menyatakan bahwa masyarakat yang berhak mendapatkan manfaat (santunan) dari penanganan dampak sosial kemasyarakatan ini hanya bagi mereka yang telah menguasai dan memanfaatkan tanah (‘bukan miliknya’) secara fisik paling singkat 10 tahun secara terus menerus.
Seterusnya, Perpres ini overlapped dan inkonsistensi dengan UU 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Sebab kebutuhan pemerintah untuk memperoleh tanah demi pembangunan dan investor sebenarnya dapat menggunakan instrumen UU Pengadaan Tanah dan regulasi turunannya.
Terakhir, wilayah berlaku perpres ini dirancang secara nasional untuk percepatan proyek-proyek pembangunan yang membutuhkan tanah dalam skala luas, meski demikian substansinya juga memuat tiga ”strategy exit” kebutuhan khusus pemerintah untuk melanjutkan eksekusi pembangunan Proyek Rempang Ecocity-Batam.
Tiga “strategy exit” ini mengatur siapa leading sector birokrasi yang akan menjalankan mandat perpres. Dengan memberikan kewenangan kepada gubernur untuk membentuk Tim Terpadu Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan, disingkat Tim Terpadu (Pasal 8).
Perpres ini pun ditafsirkan dapat menjadi jalan keluar bagi pemerintah untuk menangani dampak sosial proyek strategis nasional (PSN) di Batam dengan cara memberikan santunan, sebagai cara halus menggusur warga Rempang dari tanahnya.*