Dewan Keamanan PBB: Segera Gencatan Senjata Di Gaza

Hak Asasi Manusia

June 17, 2024

Jon Afrizal

Seluruh lahan terbuka, akses jalan, lahan pertanian dan bangunan rusak di Rafah. Kini penduduk Rafah mengungsi ke Khan Younis dan Deir Al-Balah di Gaza tengah. (credits: UNOCHA)

PERWAKILAN Israel, Reut Shapir Ben Naftaly, mengatakan tujuan negaranya “sangat jelas” sejak beberapa hari pertama setelah tanggal 7 Oktober. Ia menyerukan tekanan lebih besar terhadap Hamas, dengan menyatakan bahwa meskipun tiga resolusi telah diadopsi oleh Dewan Keamanan yang menyerukan pembebasan sandera, tetapi, sebagai hasilnya, tidak ada satupun yang dibebaskan.

“Untuk memulangkan semua sandera kami dan membongkar kemampuan Hamas, dan memastikan bahwa Gaza tidak menimbulkan konflik yang menjadi ancaman bagi Israel di masa depan,” katanya, di hadapan Dewan Keamanan PBB pada 10 Juni 2024, mengutip UN News.

Ia mengatakan ketika tujuan-tujuan ini tercapai, perang akan berakhir. Saat ini, katanya, 120 sandera masih disandera.

“Kami akan melanjutkan tujuan kami sampai semua sandera dikembalikan dan sampai kemampuan militer dan pemerintahan Hamas dilucuti,” katanya.

Sehingga, katanya, Israel tidak akan terlibat dalam negosiasi yang tidak berarti dan tanpa akhir yang dapat dimanfaatkan oleh Hamas sebagai cara untuk mengulur waktu.

Namun, proposal gencatan senjata “tanpa penundaan dan tanpa syarat” yang disusun Amerika Serikat pada rapat Dewan Keamaan PBB ini, menyerukan kepada Hamas agar menerima proposal gencatan senjata yang diumumkan pada 31 Mei lalu itu.

Menurut Dewan Keamaan, proposal ini telah diterima dan ditandatangani oleh Israel.

Resolusi yang diadopsi oleh mayoritas besar dengan 14 suara mendukung dan Rusia abstain – memilih untuk tidak menggunakan hak vetonya – juga mendesak kedua belah pihak untuk sepenuhnya melaksanakan ketentuan proposal “tanpa penundaan dan tanpa syarat” Ini.

Namun, Perwakilan Tetap Rusia mengatakan kepada Dewan Keamanan setelah pemungutan suara dilakukan, bahwa ada ketidakjelasan mengenai apa sebenarnya yang telah ditandatangani Israel dalam resolusi itu. Sehingga menyebabkan terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab yang membuat Moskow tidak dapat memberikan dukungannya.

Presiden Biden menggambarkan kesepakatan itu sebagai “bukan hanya gencatan senjata yang pasti akan rapuh dan bersifat sementara” saja, tetapi juga akan memberikan “penghentian perang yang bertahan lama”.

Ia menambahkan bahwa ketentuan kesepakatan telah disampaikan oleh Qatar kepada pimpinan Hamas.

Menandakan akan adanya harapan menuju perubahan dalam diplomasi, inisiatif yang dipimpin AS ini mengajak Israel dan misi Palestina untuk ikut serta, menghindari veto dari anggota tetap – termasuk AS sendiri – yang telah menghambat tindakan terhadap beberapa resolusi yang gagal disahkan sejak perjanjian tersebut ditandatangani. Serangan teror dan penculikan pada tanggal 7 Oktober memulai siklus kekerasan.

Mosi ini menggunakan pendekatan tiga fase untuk memastikan berakhirnya pertempuran secara permanen dan komprehensif.

Fase pertama mencakup “gencatan senjata segera, penuh, dan menyeluruh dengan pembebasan sandera termasuk perempuan, orang lanjut usia dan yang terluka, pengembalian sisa-sisa beberapa sandera yang terbunuh, dan pertukaran tahanan Palestina”.

Resolusi itu menyerukan penarikan pasukan Israel dari “daerah berpenduduk” di Gaza, kembalinya warga Palestina ke rumah dan lingkungan mereka di seluruh wilayah kantong tersebut, termasuk di wilayah utara, serta distribusi bantuan kemanusiaan dalam skala besar yang aman dan efektif.

Fase kedua, akan mengakhiri permusuhan secara permanen “dengan imbalan pembebasan semua sandera lainnya yang masih berada di Gaza, dan penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza”.

Pada fase ketiga, “rencana rekonstruksi besar-besaran multi-tahun untuk Gaza” akan dimulai dan sisa-sisa sandera yang masih berada di Jalur Gaza akan dikembalikan ke Israel.

Dewan juga menggarisbawahi ketentuan proposal bahwa jika perundingan memakan waktu lebih dari enam minggu untuk tahap pertama, gencatan senjata akan berlanjut selama perundingan berlanjut.

Dewan Keamanan menolak segala upaya perubahan demografis atau teritorial di Jalur Gaza, termasuk segala tindakan yang mengurangi wilayah kantong itu.

Ini juga menegaskan kembali komitmen teguh Dewan Keamanan terhadap visi solusi dua negara. Dimana dua negara demokratis, Israel dan Palestina, harus dapat hidup berdampingan secara damai dalam batas-batas yang aman dan diakui sesuai dengan hukum internasional dan resolusi PBB yang relevan.

Sehingga, berdasarkan resolusi itu, “Dalam hal ini menekankan pentingnya menyatukan Jalur Gaza dengan Tepi Barat di bawah Otoritas Palestina.”

Dan, Hamas dipaksa harus menerima kesepakatan ini.*

avatar

Redaksi