Krisis Lingkungan Semakin Sistemik
Lingkungan & Krisis Iklim
December 27, 2025
Mahendra Wisnu/Kota Jambi

Kantor dan eks lobang tambang batu bara yang ditinggalkan tanpa reklamasi, di Sekalo, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
KRISIS lingkungan hidup di Provinsi Jambi semakin menunjukkan pola yang sistemik dan mengkhawatirkan. Demikian dikatakan Oscar Anugrah, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jambi, pada konfrensi pers Catatan Akhir tahun 2025, Selasa (23/12).
Ia mengatakan sepanjang tahun 2025 hampir separuh daratan Jambi kini berada dalam penguasaan korporasi. Penguasaan ini dilakukan melalui skema izin di sektor perkebunan, pertambangan, dan kehutanan.
“Ini yang kami sebut sebagai sistemik,” katanya.
Di saat yang sama, katanya, sekitar 3,77 juta jiwa warga Provinsi Jambi harus bertahan hidup di ruang yang semakin sempit, rentan, dan penuh ancaman bencana ekologis.
Data WALHI Jambi menunjukkan bahwa sebanyak 57 persen Areal Penggunaan Lain (APL) dan 44 persen kawasan hutan di Provinsi Jambi telah dikuasai oleh korporasi. Ketimpangan penguasaan ruang ini menjadi sumber utama konflik agraria yang tak kunjung selesai, mempercepat kerusakan ekosistem, serta meningkatkan intensitas bencana ekologis seperti banjir, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), krisis air bersih, dan pencemaran sungai.
“Sepanjang tahun 2025 ini, WALHI Jambi menilai arah pembangunan di Provinsi Jambi semakin menjauh dari prinsip kehati-hatian lingkungan,” lanjutnya.
Di Kota Jambi, katanya, pembangunan Mall Jambi Business Center (JBC) menjadi contoh nyata. Kawasan yang secara ekologis berfungsi sebagai daerah resapan air dan penyangga Sungai Kambang justru ditimbun dan dialihfungsikan untuk kepentingan bisnis.
Ini mengakibatkan warga di sekitar kawasan Mayang dan JBC berulang kali mengalami banjir, termasuk pada Desember 2025. Padahal, kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai wilayah rawan banjir.
“Banjir yang terus berulang ini bukanlah bencana alam saja. Melainkan bencana ekologis sebagai akibat dari kebijakan tata ruang yang mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Aktifitas penambangan emas dengan menggunakan alat berat di Limun, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Ancaman terhadap ruang hidup rakyat juga muncul dari rencana pembangunan jalan khusus angkutan batu bara dan fasilitas stockpile PT Sinar Anugerah Sukses (PT SAS) di kawasan permukiman padat Mendalo Darat dan Aur Kenali. Proyek ini berpotensi menimbulkan pencemaran debu batu bara yang membahayakan kesehatan, meningkatkan risiko banjir akibat hilangnya daerah resapan, memicu kebisingan dan getaran, serta mengancam keselamatan warga, termasuk anak-anak yang setiap hari melintasi jalur itu.
“WALHI Jambi berpandangan bahwa Gubernur memiliki kewenangan hukum untuk menolak pembangunan stockpile dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) batu bara yang tidak sesuai dengan tata ruang dan membahayakan lingkungan hidup serta masyarakat,” kata Ginda Harahap, Divisi Advokasi Walhi Jambi.
Hal ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang “Minerba” Pasal 35 ayat (4) yang memberikan kewenangan kepada Gubernur dalam pengawasan, evaluasi, dan pemberian rekomendasi teknis terkait tata ruang dan lingkungan hidup. Kewenangan tersebut dipertegas dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 52 Tahun 2021 Pasal 15 ayat (2) yang mewajibkan rekomendasi Gubernur sebagai syarat izin TUKS.
Selain itu, UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang “Penataan Ruang” dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang “Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup” mewajibkan setiap pemanfaatan ruang dan kegiatan berdampak penting untuk memiliki kesesuaian tata ruang dan perlindungan lingkungan.
“Melemparkan tanggungjawab sepenuhnya kepada pemerintah pusat adalah bentuk pengabaian kewajiban konstitusional,” katanya.
Sebab, tanpa rekomendasi Gubernur, izin pembangunan stockpile dan TUKS batu bara berpotensi cacat prosedural dan melanggar hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Sementara di kawasan hutan, pemerintah saat ini menjalankan kebijakan Penertiban Kawasan Hutan (PKH) melalui Satgas PKH. Satgas ini dibentuk dengan janji menindak perampasan kawasan hutan oleh korporasi dan mafia tanah serta memulihkan hutan yang rusak.
Namun, pelaksanaan di lapangan justru menimbulkan kekhawatiran serius. Lahan sitaan di kawasan hutan difasilitasi untuk dikelola oleh PT Agrinas melalui skema kemitraan, yang berpotensi menyimpang dari tujuan pemulihan ekologis dan membuka babak baru penguasaan kawasan hutan oleh korporasi.
Berdasarkan data WALHI Jambi, pemasangan plang PKH telah berdampak dan berpotensi berdampak terhadap desa-desa dampingan dengan total luasan sekitar 33.763 hektare, yang tersebar di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Muaro Jambi, Batanghari, Sarolangun, dan Tebo.
Pun, kebakaran hutan dan lahan juga kembali menjadi ancaman tahunan. Sepanjang Juli 2025, tercatat 578 titik panas (hotspot) di Provinsi Jambi. Dari jumlah tersebut, 114 hotspot berada di konsesi perkebunan sawit dan 66 hotspot berada di wilayah PBPH.
“Fakta ini kembali membantah narasi yang menyalahkan masyarakat sebagai pelaku utama karhutla,” katanya.
Api justru dominan muncul di wilayah konsesi korporasi yang secara hukum memiliki kewajiban mencegah kebakaran. Jaringan masyarakat dampingan WALHI Jambi juga mengkonfirmasi kebakaran di lapangan dengan perkiraan luasan terdampak mencapai 270 hektare.
Krisis lingkungan di Jambi juga berkaitan erat dengan buruknya tata kelola pertanahan. Kasus masyarakat transmigrasi di Desa Mekar Sari dan Desa Tebing Tinggi, Kabupaten Batanghari, menunjukkan bagaimana sertifikat tanah kehilangan makna ketika negara menutup akses informasi. Sejak 2013, masyarakat kehilangan akses atas lahan bersertifikat.
“Sementara itu, ATR/BPN belum membuka titik koordinat lahan yang seharusnya menjadi dasar kepastian hukum, meskipun masyarakat telah menempuh berbagai upaya administratif dan advokasi,” katanya lagi.
Di sektor sungai, aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) terus menjadi ancaman serius. WALHI Jambi memperkirakan lebih dari 44.387 hektare lahan telah rusak akibat PETI, terutama di wilayah hulu Sungai Batanghari, karena tercemar lumpur dan merkuri, meningkatkan risiko penyakit, banjir, dan longsor.
“Krisis lingkungan di Provinsi Jambi bukanlah rangkaian peristiwa alam yang berdiri sendiri. Ini adalah akumulasi dari kebijakan yang mengabaikan keadilan ekologis dan menempatkan kepentingan investasi diatas keselamatan rakyat dan kelestarian lingkungan,” kata Oscar Anugrah, menutup diskusi ini.*
