Ratusan Petani Sawit Mandiri Di Siak Tunggu Hasil Sertifikasi RSPO

Ekonomi & Bisnis, Lingkungan & Krisis Iklim

March 20, 2023

Zulfa Amira Zaed/Jon Afrizal, Pekanbaru

Para petani sawit mandiri tengah menimbang panenan tandan buah segar (TBS) dari kebun mereka di Koto Ringin Kecamatan Mempura Kabupaten Siak, Kamis (25/3). Dengan didapatkannya sertifikasi dari RSPO, mereka berharap akan mendapatkan premi yang sesuai dengan standar yang mereka ikuti di Desa Koto Ringin Kecamatan Mempura Kabupaten Siak. (credit tittle : Jon Afrizal/amira.co.id)

Petani sawit mandiri di Kecamatan Mempura Kabupaten Siak telah berkebun sawit secara berkelanjutan sejak hampir empat tahun ini. Usaha mereka tengah menunggu lembar sertifikasi dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Berikut bagian pertama dari dua tulisan tentang upaya mereka, yang didukung oleh Mongabay Indonesia.

Para petani di Kecamatan Mempura Kabupaten Siak berkebun sawit di areal gambut. Areal perkebunan itu diharap dapat digunakan secara berkelanjutan oleh para petani.

Penduduk di Kecamatan Mempura cukup mampu. Dengan deretan rumah-rumah batu dengan halaman yang luas yang mereka tempati, yang menunjukkan bahwa mereka memiliki penghasilan yang baik.

Akses jalan yang telah diaspal di jalan utama dan semenisasi menuju ke wilayah pemukiman membuat warga dapat melakukan mobilitas dengan mudah. Jalan ini dibangun oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Kabupaten Siak.

Menjelang tengah hari, tim Mongabay Indonesia menemui warga Kecamatan Mempura yang mengelola sawit secara berkelanjutan dan ramah lingkungan. Jarak dari Kota Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau, menuju Kecamatan Mempura adalah 110 kilometer, dengan waktu tempuh selama dua jam 30 menit.

Kami mendatangi kantor Koperasi Sawit Jaya, yang berada di pemukiman warga yang padat. Siang itu, murid Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) tengah pulang menuju rumah mereka masing-masing.

Mayoritas penduduk Kecamatan Mempura berprofesi sebagai petani sawit. Meskipun beberapa dari mereka adalah pendatang dari Pulau Jawa, tetapi tidak pernah terdengar adanya konflik antar petani terkait kepemilikan lahan.

Koperasi Sawit Jaya adalah satu dari dua koperasi di Kecamatan Mempura, dengan sekitar 400-an orang petani sawit mandiri. Satu koperasi lainnya adalah Koperasi Beringin Jaya. Mereka kini tengah menunggu diberikannya sertifikat dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Manager Operasional Koperasi Sawit Jaya, Afif M Nurudin mengatakan tiga orang auditor RSPO dari British Standards Institution (BSI) group telah datang ke lokasi pada 19 November 2020 lalu.

“Menurut auditor, sertifikat akan diberikan sebulan setelah kunjungan audit eksternal ini,” kata Afif, kepada Mongabay, Kamis (25/3).

Kenyataannya, hingga saat ini sertifikat dari RSPO tak kunjung mereka dapatkan.

Mereka kini, menurut istilah para petani, “berada di ujung kesabaran”. Sebab, begitu banyak waktu dan tenaga yang harus mereka keluarkan untuk mendapatkan sertifikat dari RSPO ini.

Mereka telah memulai cara bertanam sawit berkelanjutan yang mengikuti standard RSPO sejak 2016 lalu. Dengan metoda yang cukup rumit bagi mereka, yang harus meninggalkan berkebun sawit dengan cara lama di areal gambut ini.

Dengan keterlanjuran pembukaan kanal, yang biasa dilakukan di areal gambut. Untuk selanjutnya, kanal itu mereka manfaatkan sebagai palung yang berfungsi untuk tetap mempertahankan tinggi muka air di areal gambut.

“Tingkat kebakaran lahan adalah 0 persen,” kata Ketua Koperasi Sawit Jaya, Sutrisno.

Terlebih, areal perkebunan sawit milik mereka adalah kawasan dimana pipa-pipa minyak bumi mengalir untuk dibawa ke kilang minyak di Kecamatan Minas. Sebab, jika terjadi kebakaran, maka tidak hanya pohon-pohon sawit yang terbakar. Tetapi, akan timbul ledakan besar, karena pipa-pipa minyak bumi itu akan ikut terbakar juga.

Provinsi Riau adalah provinsi yang rawan terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Website sipongi.menlhk.go.id mencatat trending menurunnya tingkat karhutla di provinsi ini dari tahun ke tahun.

Pada tahun 2015, tercatat 183.808,59 hektare areal lahan yang terbakar. Sementara pada tahun 2019 lalu, menurun menjadi 108.110,00 hektare.

Perluasan perkebunan sawit kerap dianggap banyak pihak sebagai faktor utama karhutla. Satu cara mudah dan murah untuk membuka areal perkebunan baru, adalah dengan membakarnya ketika musim kemarau.

Petani sawit mandiri di sini, telah membuka lahan sejak 10 tahun lalu. Melalui bantuan dari pemerintah setempat, mereka membuka lahan secara perseorangan.

Namun, menurut para petani, sewaktu itu lahan telah di-kanal-isasikan. Yang berguna untuk mengeringkan lahan gambut yang basah, dan menurunkan zat asam tanah.

“Tapi cara ini tidak sesuai dengan perkebunan sawit berkelanjutan,” katanya.

Areal gambut yang telah kering akibat kanalisasi cenderung mudah terbakar, terutama di musim kemarau. Musim kemarau terjadi pada puncak panen sawit, yakni sekitar bulan Agustus hingga September.

“Jika karhutla terjadi, maka kita semua akan rugi besar,” katanya.

Menurut data Jikalahari, Provinsi Riau memiliki 4.044 juta hektare areal gambut, atau 45 persen dari luas daratan Riau. Sementara Kabupaten Siak memiliki 503.669 hektare areal gambut.

Ia mengatakan, setiap petani mandiri memiliki sekitar 2 hektare lahan. Setiap hektare ditanam sebanyak 128 batang sawit.

“Keseluruhan lahan adalah areal gambut dengan kedalaman di bawah tiga meter,” kata Sutrisno.

Kedalaman itu, katanya, sesuai dengan aturan RSPO terkait perkebunan sawit di areal gambut.

Kini, sawit mereka berusia sekitar 10 tahun. Dan, mereka masih memiliki 15 tahun lagi untuk menikmati panen.

Standard RSPO mengharuskan agar perkebunan sawit yang ramah lingkungan. Sehingga lingkungan yang baik dapat menjamin pertumbuhan sawit yang berkelanjutan.

Caranya, dengan meminimalisir penggunaan pestisida. Para petani, kini, terbiasa untuk menyiangi rumput liar yang tumbuh di sekitar pokok pohon dengan menggunakan alat tebas, seperti parang, misalnya.

Terkait dengan pupuk, mereka pun hanya menggunakan seperlunya saja. Jika dulu mereka menggunakan pupuk seenaknya, tapi kini jadi lebih hemat.

Seperti Hcl, misalnya. Hanya 0,7 kilogram per hektare per tiga kali dalam setahun.

Untuk memancing pupuk kimia itu, mereka menggunakan pupuk organik yang mereka buat sendiri. Pupuk itu terdiri dari tandan kosong, dan beberapa bahan lainnya.

“Kami menggunakan minimal 3 kilogram pupuk organik per hektare per tahun,” kata Afif.

Menurutnya, penggunaan pupuk pun berkurang hingga 50 persen. Sebelum mengenal RSPO, dibutuhkan dana sebesar Rp 1 juta per empat bulan per hektare per tahun. Tapi sekarang, hanya Rp 600 ribu saja.

Selain diuntungkan dengan berkurangnya jumlah uang yang dikeluarkan untuk pupuk, harga tandan buah segar (TBS) pun meningkat. Sebelumnya, panen 1 hektare kurang dari 1 ton. Tapi sekarang berasa di atas 1 ton per 10 hari panen.

Pengurus Koperasi Sawit Jaya tengah mengukur muka air gambut di kebun sawit milik mereka di Desa Benteng Hulu Kecamatan Mempura Kabupaten Siak, Kamis (25/3). Tinggi muka air setinggi 4 centimeter harus tetap dijaga agar kebun mereka tetap basah, dan dapat digunakan secara berkelanjutan. (credit tittle : Jon Afrizal/amira.co.id)

Menurut Statistik Perkebunan dari Dinas Perkebunan Provinsi Riau tahun 2019, luas perkebunan sawit di Kabupaten Siak adalah 232,917 hektare. Dengan total produksi 453,637 ton per tahun. Sedangkan jumlah petani adalah 114,962 KK.

Kasi Produksi Perkebunan Dinas Pertanian Kabupaten Siak, Candra Rivana mengatakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk mendukung sertifikasi RSPO diantaranya adalah dengan menjalin kerjasama dengan beberapa NGO. Ini bertujuan untuk mendukung peningkatan kapasitas petugas lapangan dan petani mengenai perkebunan yang berkelanjutan.

Pemerintah membantu petani melakukan pemetaan lahan kebun mereka, dan mengadakan sosialisasi terkait Surat Tanda Daftar usaha Budidaya (STDB).

“Pemerintah juga telah menerbitkan STDB anggota-anggota kedua koperasi itu,” katanya.

Ia mengatakan sertifikasi RSPO terhadap para petani ini sangat erat kaitannya dengan program Pemerintah Kabupaten Siak yang disebut “Siak Hijau”, dan telah pula menjadi “Riau Hijau”.

Sebab program ini bertujuan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan dengan tidak merusak lingkungan. Selain juga mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku.

“Perbup Siak Hijau pun memuat pasal-pasal yang mendorong usaha perkebunan untuk memenuhi sertifikasi ISPO dan RSPO,” katanya. *

Liputan ini didukung oleh Mongabay.com

Artikel ini telah erbit di amirariau.com dan mongabay.com

avatar

Redaksi