Gerakan Tolak Pajak Di Minangkabau

Daulat

August 16, 2024

Jon Afrizal

Suasana masyarakat pedesaan di Sumatera Barat, diperkirakan tahun 1910. (credits: Universiteit Leiden)

DALAM catatan sejarah Indonesia, mungkin ini satu-satunya, sebab belum ditemukan catatan lain di masa yang sama, bahwa telah terjadi sebuah gerakan rakyat yang menolak untuk membayar pajak kepada pemerintah Belanda. Sebuah penolakan, yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya perang: Belasting Opstand (Perang Belasting) pada tahun 1908.

Pajak, dalam bahasa Belanda disebut dengan belasting. Algemeen Handelsblad pada edisi 22 November 1908 menggunakan istilah bloedbelasting (: pajak darah) untuk pajak penghasilan. Yakni, sebagai kritik terhadap pelaksanaan Kultuurstelsel (tanam paksa).

Bermula dari penerapan koffiestelsel (tanam paksa kopi) oleh pemerintah Belanda di Sumatra’s Westkust (Sumatera Barat), dan juga monopoli perdagangan kopi, tentunya. Rakyat, tentu saja tidak mau dipaksa terus menerus.

Mestika Zed (almarhum) menyebutkan bahwa satu penyebab gagalnya kebijakan kultuurstelsel di Sumatera Barat adalah karena sulitnya mengontrol wilayah ini. Sehingga tanam paksa kopi terpaksa dihapuskan pada tahun 1908.

Pada masa awal tanam paksa kopi ditetapkan oleh pemerintah Belanda di pertengahan abad ke-19, permasalahan tidak terjadi. Karena, tanaman kopi, bagi orang Minangkabau yang telah mengenalnya sebelum Belanda masuk, adalah daunnya yang dikonsumsi.

Daun kopi dikonsumsi untuk minum kawa (qahwa dalam bahasa Arab). Yakni semacam minuman teh dari daun kopi, dengan cangkir dari tempurung kelapa yang dituangkan dari tempat penyimpannnya berupa perian bambu dengan tutupnya dari bahan ijuk.

Dan, ketika pemerintah Belanda menangkap peluang tingginya harga komoditas di pasaran dunia dengan pola koffiestelsel, orang Minangkabau kemudian malah bersedia menanam bibit kopi lebih banyak daripada yang ditetapkan Belanda. Tetapi, ehm, hasilnya tidak sepenuhnya diserahkan ke pakhuis (gudang kopi) pemerintah Belanda.

Melainkan mereka jual sendiri ke pantai timur Sumatera, hingga ke Singapura dan Malaka. Kedua wilayah itu, sewaktu itu masih berada di bawah penguasaan Belanda.

Mungkin, kondisi ini juga yang menyebabkan terciptanya prasa “Melayu Kopi Daun”. Dimana orang Melayu (sebutan untuk rakyat Hindia Belanda pada umumnya kala itu) menikmati daun kopi sebagai minuman, dan hasil produksi biji kopi dijual untuk orang-orang (pemerintah Belanda) dengan “lidah” yang berbeda dalam menikmati kopi.

Kesenjangan adalah persoalan utama. Ketika penjajahan menjadi alat untuk memperkaya diri; secara perseorangan maupun kelompok. Dan, ketika rakyat dibiarkan tetap lapar, dan tidak boleh untuk mendapatkan untung lebih banyak.

Perang Belasting terjadi selama dua hari, Yakni pada 15 dan 16 Juni 1908, di Kamang dan Manggopoh, Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat. Juga daerah-daerah di sekitar Bukittinggi.

Jika terdapat perbedaan nama kecamatan atau kabupaten pada saat ini, maka itu adalah persoalan pemekaran pada saat sekarang, yang tidak ada pada masa Hindia Belanda.

Perang Belasting yang juga terkait dengan Perang Kamang, sebagai muasal terjadi gerakan perlawanan terhadap pajak darah. Kamang berjarak sekitar 16 kilometer dari benteng Fort de Cock.

Wilayah ini, adalah juga markas Abdullah bergelar Tuanku Nan Renceh, seorang ulama pemimpin perjuangan melawan Belanda dalam Perang Padri dari tahun 1803 hingga 1838.

Perang Kamang digelorakan oleh Syekh Haji Abdul Manan. Ia gugur dalam pertempuan itu. Sedangkan anaknya, Haji Ahmad Marzuki ditangkap Belanda, ketika perang terjadi. Perang ini telah menyebabkan sebanyak 100 orang rakyat meninggal dunia, dan puluhan orang Belanda tewas.

Wilayah-wilayah di sekitar Bukittingi, adalah juga kantong Kaum Padri. Golongan ulama ini, memerangi pemerintah Belanda yang telah bekerjasama dengan kaum adat untuk melegalisasi judi dan minuman keras.

Serial Perang Belasting dilanjutkan di Manggopoh, atau juga dikenal dengan Perang Manggopoh. Tercatat nama Siti Manggopoh, atau, orang lebih mengenalnya dengan sebutan Mandeh Siti (: Ibu Siti).

Mandeh Siti, perempuan berani kelahiran Manggopoh ini yang telah menggelorakan semangat dari rakyat yang tertindas untuk melakukan perang ini.

Seperti yang ditulis Mulyono Atmosiswartoputra dalam Perempuan-perempuan Pengukir Sejarah, Siti Manggopoh bersama suaminya, Rasyid Bagindo, telah menghimpun kekuatan rakyat di dalam hutan. Dari hutan, kemudian, mereka melancarkan serangkaian serangan ke area pertahanan benteng Fort de Cock .

Tercatat tujuh orang rakyat tewas dalam peperangan ini. Sementara 53 orang tentara kolonial mati terbunuh. Tujuh orang rakyat juga ditangkap pemerintah Belanda, termasuk Mandeh Siti.

Mandeh Siti, dicatat juga membawa anaknya, Delima, ke dalam hutan. Ketika ditangkap pemerintah Belanda, ia tidak dikenai hukuman pembuangan, karena sedang mengasuh anak yang masih kecil.

Tetapi, konsekwensi dari gerakan perlawanan itu, membuat ia harus dipenjara selama 14 bulan di Lubukbasung, 16 bulan di Pariaman, dan 12 bulan di Padang.

Setelah Perang Padri berakhir, dilakukan perjanjian antara rakyat yang dikomandoi oleh ulama, dengan pemerintah Belanda. Perjanjian itu bernama “Plakat Panjang” yang terjadi pada tahun 1833.

Dalam perjanjian itu, dicapai kesepakatan, satu butirnya, adalah tidak akan ada pajak langsung yang dikenakan terhadap rakyat Minangkabau. Tetapi, dalam penerapan koffiestelsel, pemerintah malah menerapkan pajak penghasilan, sebagai keuntungan tambahan dari penjualan biji kopi.

Kebijakan pemerintah Belanda ini, bertentangan dengan kesepakatan “Plakat Panjang”.

Dan, aturan yang memaksa ini, telah menyebabkan bersatunya kaum adat dan kaum ulama, untuk memerangi Belanda.*

avatar

Redaksi